METODE TEOLOGI DAN FILSAFAT

Membicarakan tentang model berpikir teologi dan filsafat akan terlintas bahwa kedua memiliki kesamaan, yakni menggunakan akal dalam menguraikan narasi yang dikemukakannya sebagai argumentasi logis dari pemikirannya. Teologi dan filsafat sesungguhnya sama-sama menggunakan metode sillogisme dalam cara berpikirnya, suatu metode pengambilan kesimpulan atau pengetahuan yang didasarkan atas premis-premis, premis mayor dan premis minor. Akan tetapi terdapat perbedaan antara keduanya. Dalam filsafat, pengetahuan yang bisa dijadikan premis mayor harus benar-benar merupakan premis primer, primes yang benar, pasti dan meyakinkan setelah diuji secara rasional. Sedangkan dalam teologi, premis mayor bisa diambil dari sesuatu yang sudah diterima secara umum dalam masyarakat atau yang diturunkan dan diyakini dari ajaran agama.
Menurut al-Fârâbi, keyakinan yang tuntas mempunyai tiga tipe kepercayaan: (1) kepercayaan bahwa sesuatu itu atau tidak dalam kondisi spesifik; (2) kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain selain darinya, (3) kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin sebaliknya.
Dalam pemikiran filsafat, sebuah proposisi bisa menjadi premis primer jika memenuhi tiga kategore di atas sekaligus, sedang dalam pemikiran teologi hanya mensyaratkan dua point yang pertama. Dengan kata lain, dalam aturan berpikir filsafat, sebuah proposisi agar bisa dijadikan sebagai premis primer, selain bahwa ia telah diterima sebagai sebuah kebenaran, juga bahwa ia telah teruji kebenarannya secara logis. Sedang dalam pola pikir teologi tidaklah demikian, karena point ketiga mempersyaratkan suatu pengujian kritis terhadap dua persyaratan sebelumnya tidak dikenal dalam teologi.
Dampak dari perbedaan persyaratan klaim kebenaran antara filsafat dan teologi ini, juga memberikan pengaruh yang luas sesuai tipe pemikirannya. Pemikiran filsafat akan jadi sangat terbuka terhadap segala pemikiran dan pengetahuan. Tuntutan rasionalitas dan logis dari pemikirannya, mengarahkannya untuk memperanyakan segala sesuatu, tidak terkecuali wilayah dari ajaran agama, yang menurut sebagian pemeluknya sebagai sesuatu yang tidak bisa dikritisi dan diganggu gugat. Filsafat bahkan mempertanyakan dirinya sendiri, sehingga kesimpulan yang dirumuskannya tidak jarang bertentangan dengan dasar-dasar teologi Islam. Meskipun tidak bisa dikatakan bertentangan dengan al-Qur’an secara substansial. Tiga pemikiran filsafat yang dituduh kufur oleh al-Ghazâlî: keqadiman alam, kebangkitan ruhani dan ketidaktahuan Tuhan tentang hal-hal yang patikular (juz’iyat) merupakan salah satu bukti dari kebebasan berpikir dan model berpikir filsafat yang sangat kritis.
Ibn Rusyd mengungkapkan bahwa segala yang diungkapkan oleh al-Ghazâlî tersebut adalah sesuatu persoalan yang tidak layak disampaikan kepada khalayak umum dalam Tahâfut al-Falâsifah, sebab yang demikian justru hanya akan merusak mereka. Seharusnya hal-hal semacam itu dijaga, dieksplorasi secara terbatas pada orang-orang tertentu, seperti masalah ilmu Allah swt. Demikian yang dipaparkan Sulaimân Sunyâ dalam pengantarnya yang termuat pada kitab Tahâfut al-Tahâfut karya Ibn Rusyd.
Karakteristik lainnya dari pemikiran teologi yang tidak mensyaratkan adanya uji rasionalitas dan logisitas pada premis-premis primernya menjadikannya sangat tertutup. Teologi tidak mempersoalka pendapat-pendapat yang telah menjadi opini umum dan menerimanya sebagai koreksi. Kondisi ini terlebih juga ditambah dengan tungtutann adanya ‘personal commitment’ (kesetiaan pribadi) yang sangat kuat terhadap ajaran agama. Pemeluk agama memiliki kecenderungan untuk mempertahankan ajaran agamanya dengan gigih, bahkan dengan berkorban jiwa dan raga. Dalam agama juga dituntut keikutsertaan dan kesetiaan secara total dari segenap pengikutnya.
Sikap teologi atau agama yang sedikit mengambil jarak dari pertimbangan rasional serta pemikiran akan mengakibatkan pengerdilan dalam pengalaman keberagaman yang seharusnya dimiliki. Dalam hal ini teologi lebih mengutamakan dalil normatif dari sumber ajaran agamanya. Amin Abdullah menyebut ‘bahasa’ yang digunakan oleh pemeluk agama itu dalam menjelaskan ajaran agamanya adalah ‘bahasa pelaku’ (bahasa aktor). Sedangkan filsafat, dalam model pemikirannya yang sangat mengedepankan rasionalitas dan bersifat terbuka serta tidak adanya komitmen untuk setia secara total kepada kebenaran rasio, menjadikannya bisa ‘mengambil jarak’ dengan ajaran agama.
[Sumber: A. Khudori Soleh, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam dan Ibn Rusyd, 2004, Tahafut at-Tahafut (Sanggahan terhadap Tahafut al-Falasifah) – terj. Tahâfut al-Falâsifah]