
Aman dan Nyaman dalam Kegiatan Keagamaan
Acara keagamaan sering kali menghadirkan kerumunan besar, seperti Tabligh Akbar atau peringatan hari keagamaan seperti peringatan 1 Muharram, Haul, dan sebagainya. Kerumunan semacam ini bukan sekadar kumpulan orang, tapi juga membawa potensi risiko, mulai dari desak-desakan, kerusakan fasilitas, hingga masalah kesehatan.
Sayangnya, pengelolaan kerumunan dalam konteks keagamaan ini masih belum menjadi perhatian yang spesifik. Contohnya, pengaturan sound system atau penggunaan TOA, apakah pengaturan suaranya sudah pas didengarkan semua kalangan, mengingat peserta acara keagamaan dihadiri jama’ah lintas usia, dari bayi, balita, anak-anak, orang dewasa hingga lansia.
Agama itu sendiri sebenarnya punya banyak nilai yang bisa jadi dasar pengelolaan, seperti anjuran untuk menjaga ketertiban dan memberi ruang bagi orang lain. Namun, pendekatan yang benar-benar cocok dengan acara keagamaan memang harus digali aspek-aspeknya.
Aspek pertama yang perlu digali adalah rasa aman. Keamanan cenderung terkait dengan hal teknis. Contohnya aspek kecukupan ruang untuk menghindari adanya bencana kerumunan seperti sesak nafas, resiko maling, dll. Lalu ada juga aspek keamanan dari bencana alam, perang dll.
Aspek kedua, adalah nyaman. Kenyamanan ini bisa jadi subjektif. “Siapa yang ingin dibuat nyaman”? Jika objek acara adalah orang dewasa, seperti acara-acara majlis rutinan, maka ada besar kemungkinan fokus acara adalah membuat kondisi setenang mungkin hingga jama’ah bisa fokus kajian. Anak-anak harus diam, tidak mengganggu. Ini tentu tidak nyaman untuk anak-anak. Karena kenyamanan anak-anak itu adalah bisa lari-lari, bermain, dan ribut!.
Dalam agama sendiri, tentu kita dapat memahami, bahwasanya anak–anak juga memiliki hak atas agama. Contoh, mereka berhak ikut senang ketika berada di masjid. Di salah satu masjid di Turki, yang beritanya cukup viral, seorang Imam Masjid ikut bermain bola dengan anak-anak sesudah sholat, di dalam masjid. Tentu ini hal yang tidak lumrah. Tapi kita tentu paham maksud imam tersebut, bahwa anak-anak tidak bisa dipaksa menyukai masjid jika setiap kali ke masjid mereka disuruh diam, melawan insting natural mereka untuk bermain.
Lalu, apakah kita menggantikan fungsi sakral tempat ibadah, atau kesakralan kegiatan keagamaan? Dengan memasukkan hal-hal yang “duniawi” atau tidak sakral ke dalam ruang-ruangnya? Sekarang kita bisa membuat refleksi dengan masjid, dan kegiatan keagamaan yang biasanya dilakukan di dalamnya . Di dalam masjid ada pengaturan wilayah mihrab, wilayah jama’ah, teras, dan halaman. Juga ada waktu-waktu sholat, dan waktu diluar sholat yang pastinya lebih bebas digunakan untuk berbagai aktivitas, seperti kesempatan bermain bola di dalam masjid (seperti kasus imam masjid di Turki). Terdengar tabu? Iya, tapi itu karena kita terbiasa mengerdilkan peran masjid sebagai tempat ibadah, padahal ia sentral kehidupan sosial. Begitu pula dengan kegiatan keagamaan, yang semestinya tidak hanya sakral tapi juga inklusif dan terkelola dengan baik. Dengan rasa aman dan nyaman, nilai-nilai agama akan lebih bermakna.