
Antropologi Ulama Banjar

Antropologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang manusia baik pada aspek biologis (fisik), sosial, budaya, maupun bahasa. Jika kita kaitkan dengan figur ulama sebagaimana yang akan dibicarakan maka perbincangan mengenai antropologi ulama berkaitan dengan posisi dan fungsi atau peran ulama dalam kehidupan sosiobudaya masyarakat yang mengelilingi ulama tersebut. Dengan demikian, antropologi ulama Banjar yang dimaksud di sini adalah perbincangan tentang kehidupan, peran, dan pengaruh ulama Banjar dalam masyarakat Banjar, terutama tentang bagaimana ulama membentuk dan dipengaruhi oleh budaya dan sosial dalam masyarakat.
Ulama Banjar dalam panggilan, penyebutan atau penggelaran sehari-hari yang diberikan oleh masyarakat Banjar terdiri dari beberapa kategori. Pertama, panggilan atau penyebutan yang menunjukkan adanya hubungan emosional terhadap ulama, seperti abah guru, abah haji, abuya atau buya. Penyebutan ini menunjukkan hubungan guru-murid sepeti hubungan antara ayah dan anak. Di sini ulama menjadi bapak spiritual masyarakat. Kedua, penyebutan atau pemberian gelar didsarkan pada keahlian atau pengakuan terhadap keilmuan ulama, seperti al-‘alimul fadhil, al-‘alimul ‘allamah, dan mu’allim (ulama yang mengajar). Ketiga, penyebutan atau penggelaran berdasarkan kedalaman spiritual seperti wali dan al-arif billah (ulama sufi). Keempat, panggilan atau penyebutan karena posisi strukturalnya, seperti tuan qadhi, tuan mufti dan sejenisnya. Panggilan ini hanya terjadi pada masa lalu ketika lembaga kerapatan qadhi masih ada. Sekarang tidak ada lagi. Kelima, panyebutan atau panggilan yang menunjukkan penghormatan paa kebesaran, kemuliaan, atau ulama yang berpengalaman dan tergolong tua dari segi usia, seperti tuan guru, tuan haji besar (di masa lalu), syaikh, dan datu. Ada pula sebutan kyai haji yang berasal dari pengaruh sebutan ulama di Jawa, seperti kyai. Keenam, penyebutan ulama didasarkan pada tempat tinggal atau tempat pengajian mereka berada, seperti Guru Sekumpul, Guru Keraton, Guru Kubah, Guru Danau, Guru Kapuh, dan lainnya. Ketujuh, penyebutan yang didasarkan pada nama daerah makam ulama tersebut berada seperti Datu Kalampayan, Datu Abulung dan lainnya. Kedelapan, penyebutan didasarkan pada nama ulama itu sendiri, seperti Guru Bakhiet, Guru Zuhdi, Guru Ridwan dan lainnya. Masih terkait kategori ini, ada pula yang memakai kata muallim, seperti Muallim Sabran, Muallim Syukur dan lainnya.
Ada beberapa kriteria seseorang diakui sebagai ulama oleh masyarakat Banjar. Beberapa kriteria itu adalah (1) memiliki pengetahuan mendalam di bidang agama (alim) termasuk di dalamnya mampu membaca kitab, (2) memiliki karakter pribadi yang mulia dan saleh, (3) memiliki majelis taklim atau memiliki pesantren, paling tidak menjadi pengajar di pondok pesantren, (4) sudah naik haji, (5) aktif terlibat dalam pembinaan masyarakat dalam bidang keagamaan (ceramah, khutbah, mengajar dan kegiatan keagamaan lainnya), (6) mendapat pengakuan dari masyarakat secara alamiah, (7) daro sego tampilan luar berpenampilan layaknya seorang ulama (pakai sorban dan gamis ala Timur Tengah, minimal pakai peci putih, pakai sarung, dan baju koko ala Indonesia). Masyarakat Banjar belum familiar dengan tampilan ulama atau ustadz yang menggunakan pakaian daerah, seperti pakai blankon seperti di Jawa. Mereka yang berjas dan berdasri cenderung dikesankan sebagai intelektual, cendekiawan atau akademisi muslim.
Tradisi keulamaan dari segi keilmuan di kalangan masyarakat Banjar dapat dilihat dair genealogi keilmuannya yang berbasis pada paham Ahlussunnah waljamaah. Asal-usul atau silsilah keilmuan ulama Banjar tidak terlepas dari jaringan keilmuan mereka dengan ulama Timur Tengah (Haramain dan Mesir) pada abad ke-18 hingga abad ke-20. Abad ke-21 ada muncul tren belajar Islam ke Tarim Hadramaut. Namun ini merupakan kecenderungan mutakhir. Pada masa lalu Haramain merupakan pusat studi Islam yang didatangi oleh ulama Banjar untuk belajar. Mereka juga memilih Mesir untuk tujuan belajar pada awal abad ke-20 hingga saat ini. Jika sebelumnya Haramain menjadi pusat utama urang Banjar menuntut ilmu, saat ini orientasi itu telah berubah dan menurun drastis. Hal ini disebabkan Haramain yang dulu bersifat kosmopolit, terbuka dengan berbagai mazhab dan aliran keagamaan, kini menjadikan aliran salafisme-Wahhabi sebagai aliran utama di sana. Kondisi ini membuat ulama Banjar berubah haluan karena tidak cocok dengan mazhab mereka. Salah satu pilihannya adalah ke Tarim Hadramaut.
Masyarakat Banjar yang religius menempatkan ulama Banjar sebagai figur penting dalam kehidupan mereka. Mereka sangat menghormati ulama sehingga ulama ditempatkan pada strata sosial yang tinggi. Apalagi banyak ulama Banjar yang memiliki pengaruh besar dan bahkan ada yang memiliki kharisma yang kuat. Sosok ulama seperti Syekh Muhammad Arsyad al-Banjar dam Guru Sekumpul diakui memiliki kharisma yang kuat. Hal ini bisa dilihat dari acara haul kedua ulama ini yang diselenggarakan secara besar-besaran dan dihadiri oleh ratusan ribu hingga jutaan jamaah. Adanya pengaruh, kharisma dan kepercayaan terhadap kekeramatan kedua ulama ini membuat masyarakat Banjar menjadikan keduanya sebagai tokoh sentral dalam tradisi keagamaan mereka. Figur Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari merupakan kebanggaan masyarakat Banjar, tidak hanya karena kedalaman ilmunya tetapi juga karena karya-karyanya yang tersebar di Asia Tenggara. Keturunannya banyak yang menjadi ulama besar yang disegani dan dihormati. Sejak abad ke-19 hingga awal abad ke-21, Bani Arsyadi memiliki figur-figur ulama yang berpengaruh, seperti Guru Sekumpul dan Guru Bakhiet hari ini. Guru Sekumpul merupakan ulama kharismatik yang dicintai oleh masyarakat Banjar. Ilmunya yang luas, kesalihannya, wajahnya yang tampan, suaranya yang indah, kekayaan yang dimilikinya, dan kisah kekeramatannya yang masyhur, membuat dirinya menjadi figur ulama ideal dalam pandangan masyarakat Banjar. Karena itu, fotonya di pajang di mana-mana, di toko-toko dan di rumah-rumah.
Penghormatan kepada ulama dan kepercayaan terhadap kekeramatan ulama membentuk dan memperkuat tradisi haul, pembacaan manakib, dan ziarah ke makam wali di kalangan masyarkat Banjar. Haul ulama dan pembacaan manakib ulama Banjar makin marak diadakan oleh masyarakat Banjar. Jika dulu, masyarakat Banjar biasanya membaca manakib Syekh Samman al-Madani dan manakib Syekh Abdul Qadir al-Jailani, saat ini masyarakat Banjar mentradisikan pembacaan manakib ulama mereka sendiri terutama ketika acara haul sesuai tanggal wafat ulama tersebut. Misalnya, haul Datu Kalampayan, haul Datu Nafis, haul Guru Sekumpul, haul Guru Zuhdi, Haul Guru Danau, haul Guru Kapuh, dan lainnya. Selain itu, tradisi ziarah ke makam-makam ulama besar terus dilakukan. Tradisi ini sudah berlangsung sejak dulu. Dengan adanya beberapa ulama berpengaruh yang wafat, objek ziarah ke makam ulama semakin banyak. Sejumlah makam ulama Banjar yang banyak diziarahi diantaranya adalah makam Guru Zuhdi, makam Habib Basirih, makam Mufti Jamaluddin, makam Datu Kalampayan, makam Guru Sekumpul, makam Datu Abulung, makam Wali Lima, makam Guru Zainal Ilmi, makam Datu Sanggul, makam Datu Taniran, makam Habib Ibrahim Nagara, makam Datu Kandang Haji, makam Datu Nafis, makam Datu Qubah Pagatan, makam Datu Bakumpai, dan masih ada lagi yang lainnya. Masyarakat Banjar berziarah ke makam-makam ulama ini didoring oleh motivasi dan tujuan tertentu. Perilaku dan ritual yang dikerjakanpun bermacam-macam. Adanya kepercayaan terkait adanya ulama yang termasuk “ahluddaraki” yaitu ulama yang telah wafat yang dapat dipanggil berkomunikasi dan dimintai bantuan tertentu dengan mereka yang masih hidup membuat kesinambungan relasi dengan ulama tidak terputus walaupun sang ulama telah tiada.
Dalam kehidupan sehari-hari, para ulama difungsikan oleh masyarakat Banjar sebagai tempat mereka belajar agama dan bertanya atau berkonsultasi berbagai masalah keagamaan. Adapula yang minta doa dan minta amalan tertentu. Ulama juga difungsikan sebagai tempat berkonsultasi terkait berbagai problem kehidupan, baik kehidupan rumah tangga, urusan anak, pekerjaan, jodoh, penyakit, dan lainnya. Tidak jarang masyarakat Banjar mendatangi para ulama untuk “minta banyu” dengan berbagai kepentingan, seperti penyembuhan penyakit, penerang hati, kelancaran urusan, dan sebagainya. Ulama juga dilibatkan sebagai pemimpin ritual daur hidup dalam tradisi budaya masyarakat Banjar, seperti upacara kematian, upacara kelahiran, upacara perkawinan, upacara kematian, dan upacara lainnya, seperti upacara mendirikan rumah, upacara selamatan menjelang keberangkatan haji, dan lainnya.
Meskipun terlibat dalam ritual budaya dalam daur hidup masyarakat Banjar, ulama juga memiliki fungsi untuk mengkritisi budaya lokal. Tidak semua tradisi budaya lokal diterima. Dalam hal ini, ada tradisi yang ditolak adapula yang diakomodasi dan diislamisasi. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam kitabnya Tuhfah al-Raghibin, misalnya, mengkritisi beberapa tradisi masyarakat Banjar yang dinilainya tidak sejalan dengan ajaran Islam, seperti tradisi manyanggar dan mambuang pasilih (sesajen). Beliau tegas melarang praktik budaya ini dan meminta penguasa untuk menghentikannya.
Aspek penting lain yang juga harus dicermati dari figur ulama Banjar adalah sosok mereka sebagai penjaga moral di tangah masyarakat yang mengalami kritis moral. Kita perlu mencontoh kesalihan dan ketakwaan mereka terutama dari sisi akhlak mereka. Dalam manakib ulama Banjar sering diceritakan tentang keistimewaan pribadi mereka, akhlak mereka, dan nasihat-nasihat mereka. Nilai-nilai religius yang terkandung dalam kisah hidup, perilaku, dan papadah mereka perlu ditanamkan dan ditradisikan dalam kehidupan kita. Nilai-nilai moral religius yang diajarkan dan menjadi perilaku ulama itu perlu dijadikan sebagai budaya religius dalam keluarga dan di lingkungan sekitar kita.
(*/al)