
RASA BANUA: KETIKA MAKANAN JADI CERITA DAN IDENTITAS
Dalam sebuah obrolan santai bersama teman-teman mengenai kuliner yang sedang tren di Banjarmasin, muncul perbincangan hangat soal makanan khas Banjar. Obrolan itu tak hanya membahas rasa, tetapi juga menjadi ruang saling mengonfirmasi pengalaman kuliner yang pernah kami coba. Dari sanalah saya menyadari bahwa makanan bukan sekadar urusan perut, tetapi juga cerminan budaya, identitas, bahkan kenangan.
Kuliner Banjar: Rasa yang Sarat Cerita
Kuliner Banjar memiliki kekayaan yang luar biasa, dari makanan utama hingga aneka wadai (kue) tradisional. Soto Banjar yang kompleks dan otentik, ketupat kandangan yang kental santan, patin babanam yang kaya bumbu, hingga masak bom yang unik dalam proses masaknya—semuanya bukan hanya soal cita rasa, tetapi juga cerita di baliknya. Misalnya, soto Banjar sering dihidangkan dalam momen-momen penting seperti pernikahan atau hari raya. Masak bom sendiri dikenal sebagai masakan yang kental tradisi, mulai dari pemilihan bahan hingga proses memasaknya yang kolektif.
Makanan Sebagai Cermin Sosial dan Budaya
Makanan menyimpan nilai-nilai dan struktur sosial masyarakat. Dalam budaya Banjar, makanan bukan hanya konsumsi harian, tetapi juga bagian dari tradisi dan perayaan. Praktik bearuhan, di mana para ibu berkumpul untuk memasak bersama menjelang acara besar, adalah contoh bagaimana makanan memperkuat ikatan sosial dan menjadi ruang belajar lintas generasi. Anak cucu tidak hanya mewarisi resep, tetapi juga sejarah dan nilai-nilai keluarga.
Secara psikologis, makanan juga memiliki peran penting dalam pembentukan ingatan. Konsep food memory menjelaskan bagaimana aroma dan rasa tertentu bisa membangkitkan kenangan masa kecil atau momen penting. Makanan pun menjadi bentuk cerita paling sederhana, yang menghubungkan kita pada akar identitas kita.
Identitas Kuliner dalam Arus Globalisasi
Dalam era globalisasi, makanan tradisional menjadi penanda identitas yang penting. Ia membedakan kita dari yang lain, memberi kita rasa memiliki, dan menghubungkan kita dengan leluhur. Pilihan makanan dan kebiasaan makan tidak pernah netral—ia dibentuk oleh budaya, agama, hingga latar regional. Ketika kita memasak atau menyajikan makanan khas Banjar, kita sebenarnya sedang memperkuat identitas kita sebagai bagian dari komunitas Banjar.
Namun, tantangan zaman menuntut kita untuk tidak hanya menjaga, tetapi juga mengembangkan. Di sinilah peran generasi muda menjadi krusial. Mereka harus mampu memanfaatkan media digital untuk menceritakan kembali kisah-kisah kuliner Banjar, menciptakan inovasi tanpa meninggalkan keaslian rasa dan nilai-nilai lokal.
Melestarikan dengan Kreatif dan Sadar
Kuliner Banjar tak harus stagnan. Ia bisa diolah secara modern, dikemas lebih menarik, dan dikembangkan melalui UMKM tanpa kehilangan identitasnya. Bingka yang dulunya hanya disajikan di rumah kini bisa hadir dalam bentuk produk siap jual dengan kemasan kekinian. Pasar Wadai Ramadan bisa dikembangkan sebagai destinasi wisata kuliner budaya.
Dengan begitu, makanan Banjar tidak hanya hidup di piring—tapi juga dalam cerita yang terus berjalan. Menjaga kuliner berarti merawat akar budaya. Itu adalah pilihan sadar untuk terus menyambung silaturahmi antargenerasi melalui rasa.
Oleh karena itu, mari kita rawat kuliner Banjar—dengan mengenangnya, menyajikannya, dan mewariskannya. Setiap suapan soto Banjar, setiap wadai yang kita sajikan kepada tamu, adalah bentuk nyata dari pelestarian budaya. Karena dari rasa, kita bisa kembali pada asal-usul.
Jika budaya adalah akar, maka makanan adalah buahnya. Ia harus dinikmati, dikenang, dan ditanamkan kembali.